5 Cara Menghitung Pajak Penghasilan dengan Tepat dan Mudah

Minggu, 02 Maret 2025 | 12:40:35 WIB
cara menghitung pajak penghasilan

Objek Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. 

Penghasilan ini dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan orang tersebut, dalam bentuk apapun dan dengan nama apapun.

Subjek PPh Badan adalah Badan Usaha yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak dalam periode tertentu, baik itu bulanan maupun tahunan, yang kemudian disetor ke kas negara. 

Sementara objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh badan usaha tersebut. Penghasilan yang menjadi objek PPh ini diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Wajib pajak orang pribadi sendiri adalah individu yang bukan badan usaha atau badan hukum. Wajib pajak orang pribadi bisa berupa laki-laki maupun perempuan, baik yang sudah menikah maupun belum menikah. 

Ketentuan khusus mengenai perpajakan bagi wajib pajak orang pribadi wanita yang sudah menikah dan keluarga diatur dalam Pasal 8 UU PPh. 

Pasal ini mengatur mengenai penghasilan yang diterima oleh pasangan yang sudah menikah, serta bagaimana penghasilan tersebut diperlakukan dalam perhitungan pajak, termasuk apakah dapat digabungkan atau dipisahkan berdasarkan status pernikahan dan ketentuan lainnya yang berlaku.

Status Perhitungan Pajak Suami Istri

  • Hidup Berpisah (HB): Wanita yang menikah dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah berdasarkan putusan hakim.
  • Pisah Harta (PH): Suami-istri yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis.
  • Memilih Terpisah (MT): Wanita yang menikah (selain kategori Hidup Berpisah dan Pisah Harta) dikenai pajak secara terpisah karena memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya.
  • Warisan Belum Terbagi (WBT): Sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris.

Secara umum, Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi hanya memiliki kewajiban untuk membayar pajak terutang berdasarkan penghasilan yang diterima, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). 

WP orang pribadi yang menjalankan usaha sendiri juga bisa diwajibkan untuk memenuhi kewajiban pajak penghasilan sesuai dengan Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 4 Ayat 2. 

Oleh karena itu, setiap pembayaran kepada pihak lain harus dipotong dan dilaporkan pajaknya oleh WP orang pribadi tersebut.

Selain itu, WP orang pribadi yang melakukan kegiatan impor juga dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas transaksi impor barang. 

WP orang pribadi dapat juga diwajibkan untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika memenuhi syarat untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pengertian Wajib Pajak Badan

Wajib pajak badan adalah sekumpulan orang atau modal yang membentuk suatu kesatuan, baik yang menjalankan usaha maupun yang tidak menjalankan usaha. 

Ini mencakup berbagai bentuk entitas seperti Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), firma, koperasi, dana pensiun, persekutuan, yayasan, organisasi, lembaga, atau bentuk lainnya. 

Setiap Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk mendaftarkan badan usaha tersebut dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan.

Jumlah wajib pajak badan yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Cakung Satu tercatat sebanyak 3.876 WP Badan. Adapun kategori dari Wajib Pajak Badan meliputi beberapa jenis yang berbeda, antara lain:

  • Badan: Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Badan yang dimaksud dapat berbentuk badan usaha diantaranya perseroan terbatas, firma, cv, dan persekutuan perdata.
  • Joint Operation: Bentuk kerja sama operasi yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.
  • Kantor Perwakilan Perusahaan Asing: WP perwakilan dagang asing atau kantor perwakilan perusahaan asing (representative office/liaison office) di Indonesia.
  • Bendahara: Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dan diwajibkan melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.
  • Penyelenggara Kegiatan: Pihak selain empat WP badan sebelumnya yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan. Penyelenggara kegiatan diantaranya adalah penyelenggara kegiatan perlombaan olahraga atau kegiatan atau acara lainnya.

Berbeda dengan WP Pribadi, untuk WP Badan kewajiban pajak diantaranya adalah sebagai berikut:

Pajak Penghasilan Badan

Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk melakukan pencatatan atau pembukuan, menyampaikan laporan penghasilan atau laporan keuangan, serta menghitung pajak terutang berdasarkan penghasilan kena pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. 

Selain itu, mereka juga harus membayar pajak terutang dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Badan Tahunan, yang telah dikurangi dengan kredit pajak, yaitu pajak yang telah dibayar sendiri (seperti PPh Pasal 25 dan Pasal 22), serta pajak yang dipotong oleh pihak lain (seperti PPh Pasal 23 atau Pasal 15).

Pajak penghasilan badan dapat dihitung dengan menggunakan tarif umum yang diatur dalam Pasal 17 UU PPh, atau jika memenuhi kriteria tertentu, badan usaha tersebut dapat menggunakan ketentuan pajak penghasilan final sesuai dengan ketentuan dalam PMK 23 Tahun 2018.

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) 

Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang dibayarkan oleh WP Badan tersebut. 

Selain itu, WP Badan juga berkewajiban untuk melakukan pemotongan, melaporkan, dan membayar pajak yang telah dipotong tersebut kepada negara.

Pajak Penghasilan Pasal 23

Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri terkait dengan royalti, dividen, bunga, dan jasa yang dibayarkan oleh WP Badan tersebut. 

WP Badan juga wajib melakukan pemotongan, melaporkan, dan membayar pajak yang telah dipotong kepada negara setiap bulannya.

Pajak Penghasilan Pasal 26

Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri terkait dengan pengeluaran atas royalti, dividen, bunga, dan sewa yang dibayarkan oleh WP Badan tersebut. 

WP Badan juga wajib melakukan pemotongan, melaporkan, dan membayar pajak yang telah dipotong kepada negara setiap bulannya.

Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2

Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk melakukan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh pihak lain, di antaranya terkait dengan sewa selain tanah dan bangunan serta jasa yang dibayarkan oleh WP Badan tersebut.

WP Badan juga wajib melakukan pemotongan, melaporkan, dan membayar pajak yang telah dipotong kepada negara setiap bulannya.

PPN dan PPnBM

Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk mengenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan/atau PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) atas penjualannya apabila memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. 

Pemungutan PPN dilakukan setiap kali transaksi, dan pajaknya wajib dibayarkan serta dilaporkan secara bulanan melalui SPT Masa. Pada umumnya, tarif pajak penghasilan badan adalah 25% dari Penghasilan Kena Pajak. 

Jumlah ini telah diatur dalam peraturan pajak, sehingga setiap badan usaha wajib mematuhi dan dengan cermat menghitung pajak yang harus dibayarkan agar dapat menjadi badan usaha yang patuh terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. 

Untuk menghitung PPh Badan, terdapat beberapa cara yang perlu diketahui. Oleh karena itu, penting bagi kamu untuk memahami cara menghitung pajak penghasilan agar dapat mengelola pajak secara benar.

Sebagai contoh, jika PT XYZ mendapatkan penghasilan kotor sebesar Rp2 miliar, maka besaran pajak penghasilan yang harus dibayar oleh PT XYZ adalah:

50% x 25% x Rp5 Miliar = Rp625 juta

Namun selama periode tahun 2019, PT XYZ telah menyetorkan pajak penghasilan karyawan ke kas negara senilai Rp100 juta dan pajak PPh pasal 23 senilai Rp200 juta. Maka, pajak penghasilan terutan PT. XYZ yaitu:

Rp625 juta – Rp100 juta – Rp200 juta = Rp325 juta

PT. XYZ memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah Rp325 juta kepada kas negara terkait dengan penghasilan badan usaha yang diperoleh pada tahun 2019.

Oleh karena itu, jumlah tersebut merupakan sisa pajak yang harus dilunasi oleh PT. XYZ pada tahun yang sama.

Pembayaran pajak ini dapat dilakukan dengan cara mencicil, asalkan mendapatkan persetujuan dari kantor pajak yang berwenang.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Untuk menghitung PPh 21, penting untuk memahami bahwa pajak penghasilan memiliki sifat progresif. Sebelum memulai perhitungan, kamu perlu mengetahui terlebih dahulu tingkatan tarif PPh yang dikenakan kepada wajib pajak. 

Ketentuan mengenai pajak penghasilan progresif pada tahun 2023 tercantum dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang kemudian mengalami perubahan menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

  1. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp60.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar 5 persen.
  2. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp60.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 dikenakan tarif sebesar 15%.
  3. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar 25%.
  4. Wajib pajak dengan penghasilan tahunan di atas Rp500.000.000 – Rp5.000.000.000 dikenakan tarif pajak sebesar 30%.
  5. Sementara itu, WP dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan pajak penghasilan tarif baru yaitu 35%.

Metode Nett

Menurut UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6, perhitungan pajak penghasilan pribadi didasarkan pada total pendapatan dan tunjangan yang diterima dalam satu tahun. Jumlah pendapatan tersebut disebut penghasilan kotor atau bruto. 

Selanjutnya, kamu perlu mengetahui penghasilan bersihnya. Caranya adalah dengan mengurangi penghasilan kotor dengan biaya-biaya yang wajib, seperti kredit, biaya pensiun, atau utang lainnya. 

Dengan kata lain, rumus untuk menghitung penghasilan bersih adalah:

Penghasilan bersih (netto) = Total penghasilan kotor (bruto) – Biaya wajib

Metode Bruto

Jika karyawan yang bersangkutan menanggung pajak penghasilannya sendiri, maka metode gross dapat diterapkan. Lalu, bagaimana cara menghitung PPh 21 menggunakan metode gross ini? 

Sebagai contoh, misalnya ada seorang karyawan dengan gaji bulanan sebesar Rp11.000.000, yang statusnya lajang tanpa tanggungan (PTKP TK/0).

Langkah 1: Pendapatan bruto – biaya jabatan = Pendapatan nett

Rp11.000.000 – (5% x Rp11.000.000) = Rp10.450.000

Langkah 2: Penghasilan nett bulanan x 12 = Penghasilan nett per tahun

Rp10.450.000 x 12 = Rp125.400.000

Langkah 3: Penghasilan nett setahun – PTKP TK/0 = Penghasilan Kena Pajak

Rp125.400.000 – Rp54.000.000 = Rp71.400.000

Langkah 4: Contoh perhitungan PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif

(5% x Rp60.000.000) + (15% x Rp11.400.00) = Rp4.710.000

Langkah 5: Contoh perhitungan PPh 21 Terutang Sebulan

Rp5.710.000 :12 bulan = Rp392.500

Elemen dalam Potongan Pajak Penghasilan Pasal 21

Seperti halnya dengan pajak lainnya, dalam pemungutan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 terdapat beberapa elemen penting. Elemen-elemen penting dalam potongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 antara lain:

  • Biaya Jabatan yaitu pengeluaran atau biaya yang berhubungan dengan pekerjaan dalam satu tahun pajak. Dimana besaran biaya jabatan PPh pasal 21 yakni 5% dari penghasilan bruto dalam setahun. Dengan nominal maksimal Rp500.000 sebulan atau Rp6.000.000 setahun.
  • Biaya Pensiun dengan besaran yang ditetapkan 5% dari penghasilan bruto. Dan nilai maksimal sebesar Rp200.000 per bulan atau Rp2.400.000 per tahun.
  • BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
  • Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan jumlah upah pekerja (penghasilan) yang akan dikenakan potongan PPh pasal 21. Dimana penghasilan tersebut telah dikalkulasikan dengan tunjangan karyawan, BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, dan unsur lainnya. Unsur-unsur kalkulasi tersebut kemudian menjadi dasar perhitungan yang diperlukan untuk menentukan besarnya pajak penghasilan (PPh). Yang mana merupakan pajak terutang yang harus dibayarkan oleh wajib pajak (WP).
  • Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ) yaitu mengurangi jumlah nilai penghasilan bruto. Dimana PTKP dikurangkan dari penghasilan bruto yang diperoleh wajib pajak yang mana tidak dikenakan pajak.

1. Penghasilan Bruto

Penghasilan bruto adalah total pendapatan kotor yang diterima seseorang sebagai imbalan atas pekerjaannya. 

Jumlah ini dihitung berdasarkan akumulasi pendapatan selama setahun. Penghasilan bruto menunjukkan bahwa sumber pendapatan yang dihitung tidak hanya berasal dari satu jenis sumber. 

Secara sederhana, penghasilan bruto mencakup semua bentuk pendapatan atau penghasilan yang diterima seseorang dalam satu tahun.

Pendapatan yang dihitung bersifat fleksibel, sehingga bisa berasal dari gaji tetap maupun hasil wirausaha. Oleh karena itu, cara penghitungannya bergantung pada gaji yang diterima dari berbagai jenis pekerjaan. 

Penghasilan bruto terbagi menjadi dua jenis, yaitu rutin dan tidak rutin. Rutin mengacu pada gaji pokok dan tunjangan yang diterima, sedangkan tidak rutin mencakup pendapatan yang tidak tetap, seperti Tunjangan Hari Raya (THR) dan bonus. 

Beberapa regulasi yang berlaku untuk penghasilan bruto ini antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Ketika membahas elemen atau komponen penghasilan bruto, hal ini selalu terkait erat dengan perpajakan. 

Menurut ketentuan pajak, pengertian penghasilan bruto adalah jumlah seluruh pendapatan yang diterima wajib pajak terkait dengan pekerjaannya selama Tahun Pajak dari setiap pemberi pekerjaan. 

Penghasilan ini bisa berupa gaji, uang pensiun, tunjangan, dan sebagainya. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai elemen atau komponen yang dimaksud.

Gaji, Uang Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua (THT)

Seperti judulnya, gaji/uang pensiun/THT yang diterima secara teratur selama Tahun Pajak yang bersangkutan menjadi elemen penghasilan bruto yang pertama.

Tunjangan PPh

Tunjangan PPh merupakan tunjangan pajak penghasilan yang diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.

Tunjangan Lainnya, Uang Lembur, Penggantian, dll

Ini merupakan tunjangan yang diterima dalam Tahun Pajak yang bersangkutan yang isinya bisa berupa:

  • Tunjangan istri dan/atau anak
  • Tunjangan jabatan
  • Tunjangan khusus
  • Tunjangan transportasi
  • Tunjangan pendidikan anak
  • Uang imbalan prestasi
  • Tunjangan lainnya dengan nama apapun
  • Uang penggantian pengobatan
  • Uang lembur
  • Dll.

Honorarium dan/atau Imbalan Sejenisnya

Honorarium merupakan imbalan atas jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukan yang bersangkutan.

Premi Asuransi yang Dibayar Pemberi Kerja

Penghasilan bruto juga bisa mencakup premi asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, serta asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan asuransi atau penyelenggara Jamsostek dalam Tahun Pajak yang bersangkutan.

Natura dan Lainnya yang Dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21

Ini merujuk pada jumlah yang sebenarnya diterima dari pemberi kerja yang tidak diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21, dan meskipun bukan Wajib Pajak, tetap tidak dikecualikan dari kewajiban memotong PPh 21 terkait dengan pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan lainnya selama Tahun Pajak yang bersangkutan.

Tantiem, Gratifikasi, Bonus, Jasa Produksi, serta THR

Komponen ini mencakup tantiem, gratifikasi, bonus, jasa produksi, THR, dan penghasilan sejenis yang bersifat tidak tetap dan mungkin hanya diberikan sekali dalam setahun, yang diterima atau diperoleh selama Tahun Pajak yang bersangkutan.

Penting untuk diingat bahwa sebelum melakukan perhitungan penghasilan bruto, ada beberapa hal yang perlu dipahami, salah satunya adalah total penghasilan bruto dalam satu bulan. Berikut ini adalah langkah sederhana untuk contoh perhitungan penghasilan bruto.

  • Setelah seluruh total penghasilan bruto diketahui selama 1 bulan, selanjutnya, kurangi total penghasilan dengan biaya atau kewajiban yang perlu dibayar.
  • Sisa dari pengurangan merupakan pendapatan penghasilan bersih. Kemudian, kalikan dengan 12 bulan sehingga dapat diperoleh penghasilan bersih selama 1 tahun.
  • Tentukan status wajib pajak:
  • TK (tidak kawin)
  • K (kawin)
  • Selanjutnya, jumlahkan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Contoh: Bapak Adi bekerja di perusahaan XYZ dengan gaji sebesar Rp8.000.000. Ia merupakan kepala keluarga namun belum memiliki anak, sehingga status wajib pajaknya adalah K/0. 

Setiap bulan, gaji Bapak Adi dipotong untuk biaya-biaya lainnya dan tunjangan, sehingga gaji yang diterima Bapak Adi menjadi Rp7.000.000 per bulan. Dengan demikian, penghasilan bersih Bapak Adi selama satu tahun adalah Rp84.000.000.

Karena status wajib pajak Bapak Adi adalah K/0, maka penghasilannya akan ditambahkan dengan Rp4.500.000, sehingga total penghasilan menjadi Rp88.500.000. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk status K/0 adalah Rp58.500.000. 

Oleh karena itu, penghasilan bruto Bapak Adi adalah Rp88.500.000 – Rp58.500.000 = Rp30.000.000.

Selain itu, berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang PPh, pengeluaran perusahaan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya secara fiskal adalah sebagai berikut:

  • Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, salah satunya seperti dividen. Termasuk dividen yang dibayarkan perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
  • Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
  • Pembentukan dan cadangan dengan syarat tertentu.
  • Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jida, asuransi wiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut akan dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
  • Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan & minuman untuk seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
  • Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan ke pemegang saham atau ke pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan terkait dengan pekerjaan yang dilakukan.
  • Harta yang dihibahkan, sumbangan/bantuan, dan warisan.
  • Pajak Penghasilan
  • Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
  • Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
  • Sanksi administrasi seperti bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan UU bidang perpajakan.

2. Penghasilan Netto

Penghasilan netto adalah penghasilan bruto yang sudah dikurangi dengan iuran pensiun, tunjangan hari tua, serta biaya jabatan. Dengan demikian, penghasilan netto bisa disebut sebagai penghasilan bersih yang diterima seseorang setiap bulannya.

Nama lain dari penghasilan netto adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP), karena penghasilan ini biasanya dijadikan dasar perhitungan untuk Pajak Penghasilan (PPh).

Bagi seseorang yang sudah bekerja dan menerima penghasilan, ia akan memiliki kewajiban perpajakan, yaitu Pajak Penghasilan (PPh). 

Dasar perhitungan PPh tersebut memerlukan data penghasilan netto. Untuk memudahkan masyarakat dalam pelaporan, dikeluarkanlah Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN).

Norma Perhitungan Penghasilan Netto adalah angka yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai perkiraan persentase penghasilan netto terhadap peredaran bruto. Informasi ini dapat digunakan untuk menghitung pendapatan yang tidak kena pajak.

Berikut adalah beberapa aturan terkait norma perhitungan penghasilan netto. Secara umum, rumus penghasilan netto adalah sebagai berikut.

Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto – Biaya Jabatan

Untuk bisa lebih memahami cara menggunakan rumus penghasilan netto di atas, simak contoh cara menghitung penghasilan netto berikut ini.

Cara Menghitung Penghasilan Netto Sebulan

Penghasilan netto sebulan dapat dihitung dengan cara mengurangi penghasilan bruto selama satu bulan dengan biaya jabatan dan iuran-iuran lainnya. Contoh iuran yang biasanya digunakan adalah iuran jaminan hari tua, iuran pensiun, dan sebagainya.

Sebagai contoh, Pak Adi menerima gaji bulanan sebesar Rp15.000.000, dengan biaya jabatan sebesar Rp500.000 dan potongan lainnya sebesar Rp150.000 setiap bulannya. Maka, penghasilan netto Pak Adi dalam sebulan dapat dihitung sebagai berikut:

Dengan menggunakan rumus sebelumnya,

Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto – Biaya Jabatan

Penghasilan Netto = Rp15.000.000 – (Rp500.000 + Rp150.000)

Penghasilan Netto = Rp14.350.000/bulan

Cara Menghitung Penghasilan Netto Setahun

Sementara itu, cara menghitung penghasilan netto setahun adalah dengan mengurangkan penghasilan bruto 1 tahun dengan iuran tahunan. Apabila dengan menggunakan data diatas dan tidak terdapat iuran tahunan lain, maka

Penghasilan Netto Setahun = Penghasilan Netto/Bulan x 12 bulan

Penghasilan Netto Setahun = Rp14.350.000 x 12

Penghasilan Netto Setahun = Rp172.200.000

Penghasilan Kena Pajak dan Tidak Kena Pajak

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah jumlah penghasilan yang menjadi batasan agar seseorang tidak dikenakan PPh Pasal 21 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP).

Dengan kata lain, jika penghasilan bulanan seseorang tidak mencapai ambang batas PTKP, maka ia tidak wajib membayar pajak. 

Meskipun demikian, wajib pajak tetap diwajibkan untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan. Ketentuan ini bersifat wajib sampai wajib pajak memperoleh status Non-Efektif (NE) dari Ditjen Pajak.

Tujuan dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah untuk meringankan beban masyarakat menengah ke bawah yang memiliki penghasilan di bawah batas PTKP. 

Pada dasarnya, pajak penghasilan tidak dikenakan kepada semua wajib pajak penerima penghasilan, melainkan hanya kepada Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Besar Jumlah PTKP

Dasar hukum untuk penentuan tarif PTKP 2019 adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016. Sementara itu, cara perhitungannya dijelaskan secara rinci melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016. 

Penetapan tarif PTKP bagi pegawai tidak tetap diatur dalam PMK No. 102/PMK.010/2016. Dengan demikian, tarif PTKP tidak mengalami perubahan sejak tahun 2016. Berikut ini adalah tarif PTKP yang berlaku sejak tahun 2016 hingga saat ini:

  • Wajib pajak pribadi berstatus tanpa tanggungan Rp54.000.000
  • Penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami Rp54.000.000
  • Wajib pajak pribadi yang berstatus kawin mendapat tambahan Rp4.500.000
  • Tambahan Rp4.500.000 untuk setiap anggota keluarga sedarah yang menjadi tanggungan, maksimal 3 tanggungan

Laki-Laki/Perempuan Lajang Laki-Laki Kawin Penghasilan Suami Istri Digabung

Kode PTKP Tarif PTKP Kode PTKP Tarif PTKP Kode PTKP Tarif PTKP

TK/0 Rp54.000.000 TK/0 Rp58.500.000 K/1/0 Rp112.500.000

TK/1 Rp58.500.000 K/1 Rp63.000.000 K/1/1 Rp117.000.000

TK/2 Rp63.000.000 K/2 Rp67.500.000 K/1/2 Rp121.500.000

TK/3 Rp67.500.000 K/3 Rp72.000.000 K/1/3 Rp126.000.000

Selain tarif PTKP, dikenal juga status PTKP yang ditulis dalam kode-kode seperti TK/0 maupun K/1. Apakah arti dari masing-masing kode PTKP tersebut? Berikut penjelasannya:

Status Lajang

  • TK/0 artinya seorang laki-laki/perempuan yang belum menikah dan tidak memiliki tanggungan
  • TK/1 artinya seorang laki-laki/perempuan yang belum menikah namun memiliki satu tanggungan
  • TK/2 artinya belum menikah dan memiliki dua orang tanggungan
  • TK/3 artinya belum menikah dan memiliki tiga orang tanggungan

Status Kawin

  • TK/0 artinya telah menikah dan tidak memiliki tanggungan
  • K/1 artinya telah menikah dan memiliki satu tanggungan
  • K/2 artinya telah menikah dan memiliki dua tanggungan
  • K/3 artinya telah menikah dan memiliki tiga tanggungan

Status PTKP Digabung

  • K/1/0 artinya adalah penghasilan suami dan istri digabung serta tidak memiliki tanggungan
  • K/1/1 artinya penghasilan suami dan istri digabung dengan memiliki satu tanggungan
  • K/1/2 artinya adalah penghasilan suami istri digabung serta memiliki dua tanggungan
  • K/1/3 artinya penghasilan suami istri digabung serta memiliki tiga tanggungan

Setelah memahami apa itu PTKP, kini saatnya melakukan simulasi perhitungan PTKP. Berikut ini contohnya:

Saat Adi belum menikah, besaran PTKP adalah Rp54.000.000 dengan kode PTKP TK/0. Namun, setelah Adi menikah, besarannya menjadi Rp58.500.000 dengan kode PTKP K/0.

Jika Adi nantinya memiliki anak yang juga dihitung sebagai tanggungan, jumlahnya akan bertambah Rp4.500.000, sehingga menjadi kode PTKP K/1, dan seterusnya.

Perlu diingat, jumlah tanggungan dibatasi hingga tiga orang dalam satu keluarga. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan status perkawinan dan tanggungan dalam pelaporan pajak. 

Hal ini juga berlaku untuk perhitungan PTKP bagi laki-laki yang belum menikah atau wanita (baik yang menikah maupun tidak).

Istri yang tidak bekerja dan tidak berusaha masih dianggap sebagai tanggungan suami dalam keluarga tersebut, sehingga perhitungannya akan sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 

Setelah memahami cara menghitung PTKP, kamu akan lebih mudah dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh).

Jika gaji karyawan selama setahun lebih kecil atau sama dengan ketentuan PTKP, maka pendapatannya tidak akan dipotong tarif PPh 21. Sebaliknya, jika gaji karyawan selama setahun melebihi PTKP yang telah ditentukan, maka perusahaan wajib memotong PPh 21.

Dapat disimpulkan bahwa PTKP adalah jumlah pendapatan wajib pajak pribadi yang dibebaskan dari PPh Pasal 21. 

Dalam perhitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai pengurang penghasilan neto Wajib Pajak (WP). PTKP ini menjadi dasar perhitungan PPh 21. 

Jika penghasilan kamu tidak melebihi PTKP, maka kamu tidak akan dikenakan pajak penghasilan Pasal 21. Namun, jika penghasilan kamu melebihi PTKP, penghasilan neto setelah dikurangi PTKP akan menjadi dasar perhitungan PPh 21.

Dalam praktiknya, masih banyak wajib pajak yang belum mengetahui tarif PTKP saat melaporkan SPT Tahunan. 

Padahal, tarif PTKP adalah dasar untuk perhitungan PPh 21. Penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya menjadi penghasilan neto, kemudian dikurangi PTKP untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak. 

Kamu tetap harus melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh, dan ketentuan ini berlaku hingga wajib pajak memperoleh status Non-Efektif (NE) dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Sebagai penutup, dengan memahami langkah-langkah yang tepat, cara menghitung pajak penghasilan dapat dilakukan dengan lebih mudah dan akurat.

Halaman :

Terkini